(فَصْلٌ) فِيْ شُرُوْطِ الصَّلَاةِ.
FASAL TENTANG SYARAT SHALAT
FASAL TENTANG SYARAT SHALAT
(Bagian 1)
الشَّرْطُ
مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ صِحَّةُ الصَّلَاةِ، وَ لَيْسَ مِنْهَا. وَ قُدِّمَتِ
الشُّرُوْطُ عَلَى الْأَرْكَانِ لِأَنَّهَا أَوْلَى بِالتَّقْدِيْمِ، إِذِ
الشَّرْطُ مَا يَجِبُ تَقْدِيْمُهُ عَلَى الصَّلَاةِ وَ اسْتِمْرَارُهُ فِيْهَا.
(شُرُوْطُ الصَّلَاةِ خَمْسَةٌ: أَحَدُهَا: طَهَارَةٌ عَنْ حَدَثٍ وَ جَنَابَةٍ)
الطَّهَارَةُ: لُغَةً، النَّظَافَةُ وَ الْخُلُوْصُ مِنَ الدَّنَسِ. وَ شَرْعًا:
رَفْعُ الْمَنْعِ الْمُتَرَتَّبِ عَلَى الْحَدَثِ أَوِ النَّجَسِ.
Syarat-syarat shalat lebih didahulukan
daripada rukun-rukunnya sebab syarat lebih utama didahulukan karena syarat
adalah hal yang wajib didahulukan atas shalat dan wajib harus selalu ada dalam
shalat. (Syarat-syarat shalat ada lima. Yang pertama adalah suci dari hadats
dan janabah.) Bersuci (22) secara bahasa adalah bersih dan lepas dari
kotoran. Sedang secara syara‘ adalah menghilangkan penghalang yang berupa
hadats atau najis.
(فَالْأُوْلَى)
أَيِ الطَّهَارَةُ عَنِ الْحَدَثِ: (الْوُضُوْءُ) هُوَ – بِضَمِّ الْوَاوِ –
اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ فِيْ أَعْضَاءٍ مَخْصُوْصَةٍ مُفْتَتَحًا بِنِيَّةٍ. وَ
بِفَتْحِهَا: مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ. وَ كَانَ ابْتِدَاءُ وُجُوْبِهِ مَعَ
ابْتِدَاءِ وُجُوْبِ الْمَكْتُوْبَةِ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ.
Syarat Shalat Ke-1
(Untuk yang pertama) yakni bersuci dari hadats adalah dengan cara
(berwudhu’). Lafazh wudhu’ dengan membaca dhammah wāw-nya
bermakna menggunakan air pada anggota-anggota tertentu yang diawali dengan
sebuah niat. Dan dengan terbaca fatḥah wāw-nya
bermakna sesuatu yang digunakan untuk berwudhu’. Awal diwajibkannya berwudhu’
adalah bersamaan dengan kewajiban shalat lima waktu pada malam Isrā’-nya Nabi
s.a.w.
(وَ شُرُوْطُهُ) أَيِ الْوُضُوْءِ كَشُرُوْطِ
الْغُسْلِ خَمْسَةٌ. أَحَدُهَا: (مَاءٌ مُطْلَقٌ)، فَلَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ وَ
لَا يُزِيْلُ النَّجَسَ وَ لَا يَحْصُلُ سَائِرَ الطَّهَارَةِ – وَ لَوْ
مَسْنُوْنَةً – إِلَّا الْمَاءُ الْمُطْلَقُ، وَ هُوَ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ
الْمَاءِ بِلَا قَيْدٍ، وَ إِنْ رَشَحَ مِنْ بِخَارِ الْمَاءِ الطَّهُوْرِ
الْمُغْلَى، أَوِ اسْتُهْلِكَ فِيْهِ الْخَلِيْطُ، أَوْ قَيْدٍ بِمُوَافَقَةِ
الْوَاقِعِ كَمَاءِ الْبَحْرِ. بِخِلَافِ مَا لَا يُذْكَرُ إِلَّا مُقَيَّدًا
كَمَاءِ الْوَرْدِ، (غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ فِيْ) فَرْضِ طَهَارَةٍ، مِنْ (رَفْعِ
حَدَثٍ) أَصْغَرَ أَوْ أَكْبَرَ، وَ لَوْ مِنْ طُهْرِ حَنَفِيٍّ لَمْ يَنْوِ، أَوْ
صَبِيٍّ لَمْ يُمَيِّزْ لِطَوَافٍ. (وَ) إِزَالَةِ (نَجَسٍ) وَ لَوْ مَعْفُوًّا
عَنْهُ. (قَلِيْلًا) أَيْ حَالَ كَوْنِ الْمُسْتَعْمَلِ قَلِيْلًا، أَيْ دُوْنَ
الْقُلَّتَيْنِ. فَإِنْ جُمِعَ الْمُسْتَعْمَلُ فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ فَمُطَهِّرٌ،
كَمَا لَوْ جُمِعَ الْمُتَنَجِّسُ فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ وَ لَمْ يَتَغَيَّرْ، وَ
إِنْ قَلَّ بَعْدُ بِتَفْرِيْقِهِ. فَعُلِمَ أَنَّ الْاِسْتِعْمَالَ لَا يَثْبُتُ
إِلَّا مَعَ قِلَّةِ الْمَاءِ، أَيْ وَ بَعْدَ فَصْلِهِ عَنِ الْمَحَلِّ
الْمُسْتَعْمَلِ وَ لَوْ حُكْمًا، كَأَنْ جَاوَزَ مَنْكِبَ الْمُتَوَضِّئِ أَوْ
رُكْبَتَهُ، وَ إِنْ عَادَ لِمَحَلِّهِ أَوِ انْتَقَلَ مِنْ يَدٍ لِأُخْرَى.
نَعَمْ، لَا يَضُرُّ فِي الْمُحْدِثِ انْفِصَالُ الْمَاءِ مِنَ الْكَفِّ إِلَى
السَّاعِدِ، وَ لَا فِي الْجُنُبِ انْفِصَالُهُ مِنَ الرَّأْسِ إِلَى نَحْوِ
الصَّدْرِ مِمَّا يَغْلِبُ فِيْهِ التَّقَاذُفُ.
Syarat Wudhu’
(Syarat-syaratnya wudhu’) seperti halnya syarat-syaratnya mandi berjumlah
lima syarat. Syarat yang pertama adalah (menggunakan air mutlak). Maka hadats
dan najis tidak akan hilang, begitu pula tidak akan dapat membuahkan kesucian
lain walaupun itu sunnah kecuali dengan menggunakan air yang mutlak. Air mutlak
adalah sebuah penamaan air tersebut terikat dengan sebab mencocoki terhadap
realita yang terjadi seperti air laut walaupun air tersebut menetes dari uap
air suci yang mendidih atau larut di dalamnya sesuatu yang mencampuri. (33) Hal ini berbeda dengan air yang tidak disebut
kecuali selalu terikat dengan nama lain (44) seperti air mawar. Air mutlak tersebut
haruslah (belum digunakan untuk) kefardhuan bersuci, (55) yakni (dari menghilangkan hadats) kecil
ataupun besar walaupun bekas bersuci dari madzhab Ḥanafiyyah yang tidak
menggunakan niat atau dari seorang anak kecil yang belum tamyiz untuk
ibadah thawāf (dan belum digunakan untuk menghilangkan najis)
walaupun najis tersebut dima‘fuw (sedang keadaan air yang digunakan tersebut
adalah air yang jumlahnya sedikit) maksudnya adalah air yang kurang dari dua
qullah. Jika seandainya ada air musta‘mal dikumpulkan hingga mencapai dua
qullah, maka air tersebut dihukumi suci dan mensucikan seperti halnya ada air
yang terkena najis kemudian dikumpulkan hingga mencapai dua qullah dan sifat
air menjadi sedikit dengan memisah-misahkannya. Maka dari itu dapat diketahui,
bahwa air musta‘mal tidak akan ada kecuali pada air yang jumlahnya sedikit dan
setelah terpisahnya air dari tempat digunakannya air tersebut walaupun secara
hukum saja seperti melampauinya air dari pundaknya orang yang berwudhu’ atau
kedua lututnya walaupun air tersebut kembali ke tempat semula atau air
berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Benar bahwa air yang telah
terpisah walaupun secara hukum dikatakan musta‘mal namun tidak masalah
terpisahnya air dari telapak tangan menuju lengan bagi seorang yang hadats dan
bagi orang mandi junub, dari kepala menuju semisal dada yakni dari setiap
anggota yang secara umumnya air tersebut menetes. (66)
Catatan:
1.
1). Ini bukanlah pengertian dari syarat, namun hanya sekedar
menjelaskan maksud syarat dalam bab shalat. Syarat secara istilah adalah sebuah
kondisi yang akan tiada sebab tiadanya syarat dan tidak harus ada bila
syaratnya telah ada dan tidak karena ketiadaan secara dzatiahnya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 36 Darul-Fikr. ↩
2.
2). Bersuci memiliki 4 wasilah dan 4 tujuan. 4 wasilah
adalah air, debu, batu dan menyamak. 4 tujuan adalah wudhu’, mandi, tayammum
dan menghilangkan najis. I‘ānah Thālibīn,
Juz. 1 Hal. 37 Darul-Fikr. ↩
4.
4). Dengan disandarkan nama lain seperti air mawar. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 37 Darul-Fikr. ↩
5.
5). Maksudnya kefardhuan adalah sesuatu yang mesti harus
menggunakan bersuci, baik berdoa bila ditinggalkan ataupun tidak, baik berupa
ibadah ataupun tidak. I‘ānah Thālibīn,
Juz. 1 Hal. 37 Darul-Fikr. ↩
6.
6). Kesimpulannya bahwa syarat dari air musta‘mal ada empat:
sedikitnya air, telah digunakan hal yang fardhu, terpisah dari anggota yang
dibasuh, tidak adanya niat ightirāf. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 38 Darul-Fikr. ↩
(فَصْلٌ) فِيْ شُرُوْطِ الصَّلَاةِ.
FASAL TENTANG SYARAT SHALAT
FASAL TENTANG SYARAT SHALAT
(Bagian 2)
(Cabangan Masalah). Kalau seandainya seorang yang berwudhu’
memasukkan tangannya dengan maksud mandi menghilangkan hadats ataupun orang
tersebut tidak berniat seperti itu, namun setelah berniat mandi junub, atau
setelah mengulang tiga kali dalam membasuh wajah seorang yang hadats kecil atau
setelah basuhan pertama – jika ia meringkas dengan satu basuhan saja – dengan
tanpa berniat ightirāf (71) dan juga tidak bertujuan mengambil air karena
tujuan lain selain bersuci maka air tersebut menjadi musta‘mal untuk selain
tangannya dan baginya diperbolehkan untuk membasuh lengannya dengan air yang
berada pada tangannya. (82).
(وَ) غَيْرُ (مُتَغَيَّرٍ) تَغَيُّرًا
(كَثِيْرًا) بِحَيْثُ يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ، بِأَنْ
تَغَيَّرَ أَحَدُ صِفَاتِهِ مِنْ طَعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيْحٍ، وَ لَوْ
تَقْدِيْرِيًّا أَوْ كَانَ التَّغَيُّرُ بِمَا عَلَى عُضْوِ الْمُتَطَهِّرِ فِي
الْأَصَحِّ، وَ إِنَّمَا يُؤَثِّرُ التَّغَيُّرُ إِنْ كَانَ (بِخَلِيْطٍ) أَيْ
مُخَالِطًا لِلْمَاءٍ، وَ هُوَ مَا لَا يَتَمَيَّزُ فِيْ رَأْيِ الْعَيْنِ
(طَاهِرٍ) وَ قَدْ (غَنِيَ) الْمَاءُ (عَنْهُ) كَزْعَفَرَانٍ، وَ ثَمَرَ شَجَرٍ
نَبَتَ قُرْبَ الْمَاءِ، وَ وَرَقٍ طُرِحَ ثُمَّ تَفَتَّتَ، لَا تُرَابٍ وَ مِلْحِ
مَاءٍ وَ إِنْ طُرِحَا فِيْهِ. وَ لَا يُضَرُّ تَغَيُّرٌ لَا يَمْنَعُ الْاِسْمَ
لِقِلَّتِهِ وَ لَوِ احْتِمَالًا، بِأَنْ شَكَّ أَهُوَ كَثِيْرٌ أَوْ قَلِيْلٌ. وَ
خَرَجَ بِقَوْلِيْ بِخَلِيْطِ الْمُجَاوِرُ، وَ هُوَ مَا يَتَمَيَّزُ لِلنَّاظِرِ،
كَعُوْدٍ وَ دُهْنٍ وَ لَوْ مُطَيِّبَيْنَ، وَ مِنْهُ الْبُخُوْرُ وَ إِنْ كَثُرَ
وَ ظَهَرَ نَحْوَ رِيْحِهِ، خِلَافًا لِجَمْعٍ. وَ مِنْهُ أَيْضًا مَاءٌ أُغْلِيَ
فِيْهِ نَحْوَ بُرٍّ وَ تَمْرٍ حَيْثُ لَمْ يُعْلَمِ انْفِصَالُ عَيْنٍ فِيْهِ
مُخَالِطَةً، بِأَنْ لَمْ يَصِلَ إِلَى حَدٍّ بِحَيْثُ لَهُ اسْمٌ آخَرَ
كَالْمَرَقَةِ، وَ لَوْ شَكَّ فِيْ شَيْءٍ أَمُخَالِطٌ هُوَ أَمْ مُجَاوِرٌ، لَهُ
حُكْمُ الْمُجَاوِرِ. وَ بِقُوْلِيْ غَنِيٌّ عَنْهُ مَا لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ،
كَمَا فِيْ مَقَرِّهِ وَ مَمَرِّهِ، مِنْ نَحْوِ طِيْنٍ وَ طُحْلُبٍ مُتَفَتِّتٍ
وَ كِبْرِيْتٍ، وَ كَالتَّغَيُّرِ بِطُوْلِ الْمُكْثِ أَوْ بِأَوْرَاقٍ
مُتَنَاثِرَةٍ بِنَفْسِهَا وَ إِنْ تَفَتَّتَتْ وَ بَعُدَتِ الشَّجَرَةُ عَنِ
الْمَاءِ. (أَوْ بِنَجَسٍ) وَ أَنْ قَلَّ التَّغَيُّرُ. (وَ لَوْ كَانَ) الْمَاءُ
(كَثِيْرًا) أَيْ قُلَّتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ فِيْ صُوْرَتَيِ التَّغْيِيْرِ
بِالطَّاهِرِ وَ النَّجَسِ.
(Dan) tidak (ada perubahan) dengan perubahan (yang banyak) sekira perubahan
tersebut dapat mencegah kemutlakan nama air, sebagaimana perubahan yang terjadi
pada salah satu sifatnya air yakni dari rasa, warna dan baunya walaupun
perubahannya hanya secara perkiraan (93) atau adanya perubahan sebab sesuatu yang
berada pada anggota orang yang bersuci menurut pendapat ashaḥḥ. Perubahan hanya akan terjadi apabila perubahan
disebabkan oleh (sesuatu yang mencampuri air) yakni mukhālith – mukhālith adalah benda yang tidak
terlihat berbeda dengan air (104) – (yang bersifat suci) dan (air tersebut dapat
terhindar dari percampuran tersebut) seperti minyak za‘faran, buah dari pohon
yang tumbuh di dekat air dan dedaunan yang dijatuhkan kemudian hancur di
dalamnya, bukan debu (115) dan garam air walaupun dijatuhkan ke dalam
air. Tidak masalah sebuah perubahan yang tidak merubah kemutlakan nama air
sebab perubahannya sedikit, walaupun terjadi keraguan sebagaimana seorang yang
ragu apakah perubahan tersebut banyak atau sedikit. (126) Dikecualikan dari ucapan saya: mukhālith adalah mujāwir. Mujāwir adalah benda yang terlihat berbeda dengan
air seperti kayu, minyak walaupun keduanya dibuat wewangian. Sebagian dari
benda mujāwir adalah tetesan air yang mendidih walaupun
sangat banyak dan baunya tampak jelas, berbeda dengan pendapat sekelompok ulama’.
Sebagian lagi adalah air yang mendidih sedang di dalamnya terdapat sejenis
gandum dan kurma sekira tidak diketahui terpisahnya sebuah bentuk benda yang
mencampuri air dengan tidak terjadinya penamaan yang lain seperti air kuah.
Kalau seandainya sebuah benda diragukan apakah mukhālith ataupun mujāwir, maka benda itu dihukumi mujāwir. Dikecualikan pula dengan ucapanku: dapat
dihindarkan dari air adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan seperti halnya
kasus air yang berada pada tempat menetapnya air dan tempat mengalirnya air,
(137) seperti sejenis lumpur, lumut yang hancur,
belerang, dan seperti perubahan sebab diam yang terlalu lama atau dedaunan yang
berguguran dengan sendirinya walaupun hancur dan pohonnya jauh dari air
tersebut. (Atau perubahan terjadi dengan sebab najis) walaupun perubahannya
hanya sedikit (dan walaupun adanya) air (tersebut banyak) yakni dua qullah
lebih dalam dua contoh perubahan dengan menggunakan perkara yang suci dan
najis.
وَ الْقُلَّتَانِ بِالْوَزْنِ:
خَمْسُمِائَةِ رِطْلِ بَغْدَادِيٍّ تَقْرِيْبًا، وَ بِالْمِسَاحَةِ فِي
الْمُرَبَّعِ: ذِرَاعٌ وَ رُبُعٌ طُوْلًا وَ عَرْضًا وَ عُمْقًا، بِذِرَاعِ
الْيَدِ الْمُعْتَدِلَةِ. وَ فِي الْمُدَوَّرِ: ذِرَاعٌ مِنْ سَائِرِ الْجَوَانِبِ
بِذِرَاعِ الْآدَمِيِّ، وَ ذِرَاعَانِ عُمْقًا بِذِرَاعِ النَّجَّارِ، وَ هُوَ
ذِرَاعٌ وَ رُبُعٌ. وَ لَا تَنَجَّسَ قُلَّتَا مَاءٍ وَ لَوِ احْتِمَالًا، كَأَنْ
شَكَّ فِيْ مَاءٍ أَبْلَغَهُمَا أَمْ لَا، وَ إِنْ تُيُقِّنَتْ قِلَّتُهُ قَبْلَ
بِمُلَاقَاةِ نَجَسٍ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ بِهِ، وَ إِنِ اسْتُهْلِكَتِ
النَّجَاسَةُ فِيْهِ. وَ لَا يَجِبُ التَّبَاعُدُ مِنْ نَجَسٍ فِيْ مَاءٍ
كَثِيْرٍ. وَ لَوْ بَالَ فِي الْبَحْرِ مَثَلًا فَارْتَفَعَتْ مِنْهُ رَغْوَةٌ
فَهِيَ نَجِسَةٌ إِنْ تَحَقَّقَ أَنَّهَا مِنْ عَيْنِ النَّجَاسَةِ، أَوْ مِنَ
الْمُتَغَيِّرِ أَحَدُ أَوْصَافِهِ بِهَا، وَ إِلَّا فَلَا. وَ لَوْ طُرِحَتْ
فِيْهِ بَعْرَةٌ، فَوَقَعَتْ مِنْ أَجْلِ الطَّرْحِ قَطْرَةٌ عَلَى شَيْءٍ لَمْ
تُنَجِّسْهُ،
Ukuran air dua qullah dengan timbangan adalah kurang-lebih 500
liter Baghdad, sedang dua qullah dengan alat ukur dalam wadah kubus adalah 1 ¼
hasta orang normal setiap panjang, lebar dan dalamnya. Sedang dalam wadah
silinder atau bulat adalah dengan diameter 1 hasta manusia disetiap sisi dan
dalamnya 2 hasta dengan hasta tangan tukang kayu, yakni 1 ¼ hasta tangan biasa.
Air yang berjumlah dua qullah tidak dapat dihukumi najis – walaupun masih
kemungkinan seperti diragukan apakah ari tersebut sudah mencapai dua qullah
ataupun belum dan walaupun sebelumnya telah diyakini sedikitnya jumlah air
tersebut – dengan sebab terkena najis selama najis tersebut tidak merubah sifat
air walaupun najis tersebut larut di dalamnya. Tidak wajib menjauhi najis di
air yang berjumlah banyak (148). Kalau seandainya seseorang kencing di laut,
kemudian terjadi buih, maka buih tersebut dihukumi najis bila jelas buih itu
dari air kencingnya atau dari air yang telah berubah salah satu sifat air
dengan sebab air kencing tersebut, dan bila tidak seperti itu maka tidaklah
dihukumi najis. Jika sebuah kotoran kering (159) dilemparkan ke dalam air, lalu dari pelemparan
tersebut menimbulkan percikan air yang mengenai pada suatu benda, maka benda
tersebut tidak dihukumi najis.
وَ يُنَجِّسُ قَلِيْلُ الْمَاءِ
– وَ هُوَ مَا دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ – حَيْثُ لَمْ يَكُنْ وَارِدًا بِوُصُوْلِ
نَجَسٍ إِلَيْهِ يُرَى بِالْبَصَرِ الْمُعْتَدِلِ، غَيْرَ مَعْفُوٍّ عَنْهُ فِي
الْمَاءِ، وَ لَوْ مَعْفُوًّا عَنْهِ فِي الصَّلَاةِ، كَغَيْرِهِ مِنْ رُطَبٍ وَ
مَائِعٍ، وَ إِنْ كَثُرَ. لَا بِوُصُوْلِ مَيْتَةٍ لَا دَمَ لِجِنْسِهَا سَائِلٌ
عِنْدَ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا، كَعَقْرَبٍ وَ وَزْعٍ، إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ مَا
أَصَابَتْهُ – وَ لَوْ يَسِيْرًا – فَحِيْنَئِذٍ يَنْجُسُ. لَا سَرْطَانٍ وَ
ضِفْدَعٍ فَيَنْجُسُ بِهِمَا، خِلَافًا لِجَمْعٍ، وَ لَا بِمَيْتَةٍ كَانَ
نَشْؤُهَا مِنَ الْمَاءِ كَالْعَلَقِ، وَ لَوْ طُرِحَ فِيْهِ مَيْتَةٌ مِنْ ذلِكَ
نَجَسَ، وَ إِنْ كَانَ الطَّارِحُ غَيْرَ مُكَلَّفٍ، وَ لَا أَثَرَ لِطَرْحِ
الْحَيِّ مُطْلَقًا. وَ اخْتَارَ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَئِمَّتِنَا مَذْهَبَ مَالِكٍ:
أَنَّ الْمَاءَ لَا يَنْجُسُ مُطْلَقًا إِلَّا بِالتَّغَيُّرِ، وَ الْجَارِيْ
كَرَاكِدٍ وَ فِي الْقَدِيْمِ: لَا يَنْجُسُ قَلِيْلُهُ بِلَا تَغَيُّرٍ، وَ هُوَ
مَذْهَبُ مَالِكٍ. قَالَ فِي الْمَجْمُوْعِ: سَوَاءٌ كَانَتِ النَّجَاسَةُ
مَائِعَةً أَوْ جَامِدَةً. وَ الْمَاءُ الْقَلِيْلُ إِذَا تَنَجَّسَ يَطْهُرُ
بِبُلُوْغِهِ قُلَّتَيْنِ – وَ لَوْ بِمَاءٍ مُتَنَجِّسٍ – حَيْثُ لَا تَغَيُّرَ
بِهِ، وَ الْكَثِيْرُ يَطْهُرُ بِزَوَالِ تَغَيُّرِهِ بِنَفْسِهِ أَوْ بِمَاءٍ
زِيْدَ عَلَيْهِ أَوْ نُقِصَ عَنْهُ وَ كَانَ الْبَاقِيْ كَثِيْرًا.
Air yang jumlahnya sedikit yakni air yang kurang dari dua qullah
dapat menjadi najis – bila air itu tidak dialirkan – (1610) dengan sebab masuknya najis pada air tersebut
dengan najis yang dapat dilihat dengan mata orang yang normal, yang tidak
dima‘fuw di dalam air walaupun dima‘fuw di dalam shalat, seperti halnya hukum
selain air yakni dari perkara yang basah dan cair walaupun cairan yang
berjumlah banyak. Tidak najis dengan sebab masuknya bangkai yang tidak memiliki
jenis darah yang mengalir saat anggota tubuhnya dirobek seperti scorpio
(kalajengking) dan cecak kecuali bangkai tersebut merubah sifat air walaupun dengan
perubahan yang sedikit, maka pada saat seperti itu air menjadi najis. Tidak
dengan masuknya bangkai kepiting dan katak, maka air menjadi najis dengan sebab
dua bangkai hewan tersebut, sementara segolongan ulama’ berpendapat lain. Dan
juga tidak najis dengan sebab bangkai dari hewan yang muncul dari air seperti
halnya lintah. Kalau seandainya bangkai-bangkai itu (1711) dilempar ke dalam air, maka air dihukumi najis
walaupun yang melempar adalah selainnya orang yang mukallaf. Tidak masalah
melempar hewan pada waktu masih hidup secara mutlak. Mayoritas ulama’ kita
lebih memilih pendapat Imām Mālik yang mengatakan bahwa air tidak dihukumi
najis secara mutlak kecuali air menjadi berubah. Air yang mengalir seperti
halnya air yang diam. Dalam qaul qadīm Imām
Syāfi‘ī disebutkan bahwa tidak dihukumi najis sedikitnya air tanpa perubahan
dan itu adalah madzhab Imām Mālik. Dan Majmū‘-nya Imām
Nawawī mengatakan: Baik adanya najis tersebut cair ataupun padat. Air sedikit
yang terkena najis dapat menjadi suci dengan sampainya air tersebut menjadi dua
qullah – walaupun dengan menggunakan air yang terkena najis – sekira tidak
ditemukan perubahan pada sifat air tersebut. Sedangkan air banyak yang terkena
najis dapat suci dengan sebab hilangnya perubahan pada air itu dengan
sendirinya atau dengan air yang ditambahkan (1812) atau dikurangi sedang sisanya masih banyak.
Catatan:
1.
7). Niat ightirāf adalah
niat mengeluarkan air dari bejana untuk digunakan bersuci di luarnya. Waktu
niatnya adalah sebelum menyentuh air tersebut. I‘ānah
Thālibīn, Juz. 1 Hal. 39 Darul-Fikr. ↩
2.
8). Kesimpulannya, jika semisal seseorang ingin berwudhu’
dari air yang berada dalam bejana yang kurang dari dua qullah maka pada saat
wudhu’ dan sampai membasuh tangan, disyaratkan sebelum mengambil air untuk
anggota tangan tersebut untuk berniat ightirāfsupaya air
yang tersisa pada bejana tersebut tidak menjadi musta‘mal bagi anggota setelah
tangan. (pen.). ↩
3.
9). Maksudnya dengan mengira-ngirakan terjadinya perubahan
bau, rasa dan warnanya dengan menggunakan perkara yang berbeda sifat dengan
air. Untuk rasa gunakan buah delima, untuk warna gunakan warna perasan anggur,
dan untuk bau gunakan kemenyan ‘Arab. Caranya: sediakan dua wadah masing-masing
berisi air suci mensucikan dengan kadar yang sama misal satu liter. Tuangkan
air musta‘mal ke dalam satu wadah dengan kadar misal 100 mililiter, untuk
mengetahui perubahan pada air yang telah dituangi air musta‘mal ini, maka jika
ingin mengetahui perubahan warna: sediakan perasan anggur 100 mililiter, lalu
tuangkan pada wadah yang satunya. Jika terjadi perubahan warna, maka air yang
dituangi dengan air musta‘mal tersebut juga berubah. Lakukan hal yang sama
untuk mengetahui rasa dan bau. I‘ānah Thālibīn,
Juz. 1 Hal. 39 Darul-Fikr bil-ma‘nā. ↩
4.
10). Sebagian pendapat mengatakan bahwa mukhalith adalah
percampuran yang tidak mungkin dipisahkan. I‘ānah Thālibīn,
Juz. 1 Hal. 40 Darul-Fikr. ↩
5.
11). Artinya perubahan air sebab debu tidaklah mempengaruhi
kesucian air sebab keduanya sama-sama sucinya dan perubahan warna hanyalah
murni keruh saja. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 39
Darul-Fikr. ↩
6.
12). Sebab kesucian air tidak dapat hilang hanya dengan
sebuah keraguan. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 40
Darul-Fikr. ↩
7.
13). Maksudnya adalah tempat asli yang berada di tanah, atau
buatan yang menyerupai aslinya. I‘ānah Thālibīn,
Juz. 1 Hal. 41 Darul-Fikr. ↩
8.
14). Maksudnya tidak wajib menjauhi dari najis yang berada
di air yang berjumlah banyak saat menciduk air di tempat tersebut bahkan
diperbolehkan untuk menciduk di tempat manapun sampai berada di tempat terdekat
dengan najis itu. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 42
Darul-Fikr. ↩
10. 16).
Kesimpulannya: Bila air tersebut dialirkan pada tempat najis dan air belum
terpisah dari tempatnya, maka air tersebut hukumnya suci-mensucikan. Bila telah
terpisah dan tidak ada perubahan, tidak bertambah kadar timbangannya setelah
mengira-ngirakan kadar yang diserap oleh tempat yang terkena najis dan
tempatnya telah suci, maka hukumnya suci namun tidak mensucikan. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 43 Darul-Fikr. ↩
11. 17). Isim isyārah tersebut kembali pada bangkai jenis
hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir dan bangkai hewan yang berasal
dari air menurut pendapat sekelompok ulama’ dan Imām Ramlī. Sedangkan menurut
Imām Nawawī, Rāfi‘ī dan Ibnu Ḥajar bahwa bangkai hewan yang berasal dari air
tidaklah masalah bila dilempar ke dalam air. I‘ānah Thālibīn,
Juz. 1 Hal. 44 Darul-Fikr. ↩
12. 18). Tidak dengan
selainnya air seperti dicampur dengan minyak misik, maka hukumnya tidak suci
sebab masih diragukan apakah najisnya hilang atau tertutupi saja. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 45 Darul-Fikr. ↩
(فَصْلٌ) فِيْ شُرُوْطِ الصَّلَاةِ.
FASAL TENTANG SYARAT SHALAT
FASAL TENTANG SYARAT SHALAT
(Bagian 3)
(وَ) ثَانِيْهَا: (جَرِيُّ مَاءٍ عَلَى
عُضْوٍ) مَغْسُوْلٍ، فَلَا يَكْفِيْ أَنْ يَمَسَّهُ الْمَاءُ بِلَا جِرْيَانٍ
لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى غُسْلًا. (وَ) ثَالِثُهَا: (أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلَيْهِ)
أَيْ عَلَى الْعُضْوِ (مُغَيَّرٌ لِلْمَاءِ تَغَيُّرًا ضَارًّا) كَزَعْفَرَانٍ وَ
صَنْدَلٍ، خِلَافًا لِجَمْعٍ. (وَ) رَابِعُهَا: (أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلى الْعُضْوِ
حَائِلٌ) بَيْنَ الْمَاءِ وَ الْمَغْسُوْلِ، (كَنُوْرَةٍ) وَ شَمْعٍ وَ دُهْنٍ
جَامِدٍ وَ عَيْنِ حُبْرٍ وَ حِنَّاءٍ، بِخِلَافِ دُهْنٍ جَارٍ أَيْ مَائِعٍ – وَ
إِنْ لَمْ يَثْبُتِ الْمَاءُ عَلَيْهِ – وَ أَثَرَ حُبْرٍ وَ حِنَّاءٍ. وَ كَذَا
يُشْتَرَطُ – عَلَى مَا جَزَمَ بِهِ كَثِيْرُوْنَ – أَنْ لَا يَكُوْنَ وَسَخٌ
تَحْتَ ظُفْرٍ يَمْنَعُ وُصُوْلَ الْمَاءِ لِمَا تَحْتَهُ، خِلَافًا لِجَمْعٍ
مِنْهُمُ الْغَزَالِيُّ وَ الزَّرْكَشِيُّ وَ غَيْرُهُمَا، وَ أَطَالُوْا فِيْ
تَرْجِيْحِهِ وَ صَرَّحُوْا بِالْمُسَامَحَةِ عَمَّا تَحْتَهَا مِنَ الْوَسَخِ
دُوْنَ نَحْوِ الْعَجِيْنِ. وَ أَشَارَ الْأَذْرَعِيُّ وَ غَيْرُهُ إِلَى ضَعْفِ
مَقَالَتِهِمْ. وَ قَدْ صَرَّحَ فِي التَّتِمَّةِ وَ غَيْرِهَا، بِمَا فِي
الرَّوْضَةِ وَ غَيْرِهَا، مِنْ عَدَمِ الْمُسَامَحَةِ بِشَيْءٍ مِمَّا تَحْتَهَا
حَيْثُ مَنَعَ وُصُوْلِ الْمَاءِ بِمَحَلِّهِ. وَ أَفْتَى الْبَغَوِيُّ فِيْ
وَسَخٍ حَصَلَ مِنْ غُبَارٍ بِأَنَّهُ يَمْنَعُ صِحَّةَ الْوُضُوْءِ، بِخِلَافٍ
مَا نَشَأَ مِنْ بَدَنِهِ وَ هُوَ الْعِرْقُ الْمُتَجَمِّدُ. وَ جَزَمَ بِهِ فِي
الْأَنْوَارِ.
(Syarat yang kedua dari wudhu’) adalah (mengalirkan air pada
anggota yang dibasuh), maka tidak cukup mengusapkan air tanpa mengalirkan (191) karena hal tersebut tidak dinamakan membasuh.
(Syarat ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota ketiga dari wudhu’) adalah
(pada anggota wudhu’ tidak terdapat sesuatu yang dapat merubah air dengan
perubahan yang membahayakan (202)) seperti minyak za‘faran dan kayu cendana,
sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain. (Syarat yang keempat dari wudhu’)
adalah (pada anggota wudhu’ tidak ada penghalang) di antara air dan anggota
yang dibasuh (seperti kapur), lilin, minyak yang telah mengeras, dzat tinta dan
inai. Berbeda dengan minyak yang cair –walaupun air tidak menetap pada anggota
wudlu – dan bekas (213) tinta dan inai. Begitu pula disyaratkan –
menurut mayoritas ulama’ – tidak adanya kotoran kuku yang dapat mencegah
masuknya air pada bagian di bawah kuku tersebut. Sementara sekelompok ulama’
berpendapat lain, sebagian ulama’ tersebut adalah Imām al-Ghazālī, Imām
az-Zarkasyī dan selain keduanya. Mereka bersikukuh memperkuat pendapatnya dan
menjelaskan bahwa sesuatu yang berada di bawah kuku yakni dari kotoran bukan
sejenis adonan roti merupakan dispensasi (224) (rukhshah). Imām al-Adzra‘ī dan selainnya
memberi isyarat atas lemahnya pendapat mereka. Imām Mutawallī dalam kitab
Tatimah dan selainnya menjelaskan dengan menggunakan pendapat yang tertuang
dalam ar-Raudhah dan selainnya bahwa kotoran yang berada di bawah kuku, jika
dapat menghalangi masuknya air ke tempatnya tidaklah mendapatkan dispensasi.
Imām al-Baghawī berfatwa bahwa kotoran yang dihasilkan dari debu itu dapat
menghalangi sahnya wudhu’, berbeda dengan keringat yang mengeras yang muncul dari
tubuhnya sendiri dan Imām Yūsuf telah mengambil keputusan dalam kitab
al-Anwār-nya sesuai dengan hal tersebut.
(وَ) خَامِسُهَا: (دُخُوْلُ وَقْتٍ لِدَائِمِ
حَدَثٍ) كَسَلِسٍ وَ مُسْتَحَاضَةٍ. وَ يُشْتَرَطُ لَهُ أَيْضًا ظَنُّ دُخُوْلِهِ،
فَلَا يَتَوَضَّأُ – كَالْمُتَيَمِّمِ – لِفَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ مُؤَقَتٍ قَبْلَ
وَقْتِ فِعْلِهِ، وَ لِصَلَاةِ جَنَازَةٍ قَبْلَ الْغُسْلِ، وَ تَحِيَّةٍ قَبْلَ
دُخُوْلِ الْمَسْجِدِ، وَ لِلرَّوَاتِبِ الْمُتَأَخِّرَةِ قَبْلَ فِعْلِ
الْفَرْضِ، وَ لَزِمَ وُضُوْآنِ أَوْ تَيَمُّمَانِ عَلَى خَطِيْبٍ دَائِمٍ
الْحَدَثِ، أَحَدُهُمَا: لِلْخُطْبَتَيْنِ وَ الْآخَرُ بَعْدَهُمَا لِصَلَاةِ
جُمْعَةٍ، وَ يَكْفِيْ وَاحِدٌ لَهُمَا لِغَيْرِهِ، وَ يَجِبُ عَلَيْهِ
الْوُضُوْءُ لِكُلِّ فَرْضٍ – كَالتَّيَمُّمِ وَ كَذَا غُسْلُ الْفَرْجِ وَ
إِبْدَالُ الْقُطْنَةِ الَّتِيْ بِفَمِهِ وَ الْعَصَابَةِ، وَ إِنْ لَمْ تَزُلْ
عَنْ مَوْضِعِهَا. وَ عَلَى نَحْوِ سَلِسٍ مُبَادَرَةٌ بِالصَّلَاةِ، فَلَوْ
أَخَّرَ لِمَصْلَحَتِهَا كَانْتِظَارِ جَمَاعَةٍ أَوْ جُمْعَةٍ وَ إِنْ أُخِّرَتْ
عَنْ أَوَّلِ الْوَقْتِ وَ كَذَهَابٍ إِلَى مَسْجِدٍ لَمْ يَضُرُّهُ.
(Syarat wudhu’ yang kelima) (235) adalah (masuknya waktu shalat bagi seorang
yang selalu hadats) seperti orang yang beser (246) dan istiḥādhah, dan disyaratkan pula baginya
untuk menduga masuknya waktu shalat, maka baginya tidak diperbolehkan berwudhu’
– seperti halnya orang yang tayammum – untuk shalat fardhu ataupun sunnah
sebelum masuknya waktu untuk mengerjakannya, dan untuk shalat janazah sebelum
memandikannya, dan untuk shalat tahiyyat-ul-masjid sebelum masuk masjid, dan
untuk shalat rawatib yang diakhirkan sebelum melakukan shalat fardhu. Wajib
melakukan dua wudhu’ atau dua tayammum bagi seorang khatib yang selalu hadats,
satu wudhu’ untuk dua khutbah dan satunya setelah dua khutbah untuk melakukan
shalat jum‘at, dan dicukupkan satu wudhu’ untuk kedua hal tersebut baginya
untuk berwudhu’ di setiap akan melaksanakan shalat fardhu’ seperti halnya
tayammum (257) Begitu pula wajib membasuh vagina dan
mengganti kapuk yang berada pada bibir vagina dan mengganti pembalut walaupun
pembalut tersebut tidak bergeser dari tempatnya. (268). Dan bagi sejenis beser kencing diwajibkan
untuk bersegera melaksanakan shalat. Kalau seandainya ia mengakhirkan shalat
karena untuk kemaslahatan shalat seperti menunggu jama‘ah atau shalat jum‘at –
walaupun shalat tersebut diakhirkan dari awal waktu – dan seperti berangkat
menuju masjid, maka hukumnya tidaklah masalah baginya.
Catatan:
1.
19). Seperti mandi dengan salju dan es yang belum mencair
dan dapat mengalir pada anggota tubuh. I‘ānah Thālibīn,
Juz. 1 Hal. 45 Darul-Fikr. ↩
3.
21). Maksud dari bekas adalah sekira bila digosok tidak
menimbulkan sesuatu. I‘ānah Thālibīn,
Juz. 1 Hal. 46 Darul-Fikr. ↩
4.
22). Dasar hukum dari Imām Ghazālī dan rekan-rekannya adalah
hadits dari Nabi yang hanya memerintahkan untuk memotong kuku dan membersihkan
kotoran yang berada di bawahnya, namun tidak memerintahkan untuk menggulangi
shalatnya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 46
Darul-Fikr. ↩
5.
23). Syarat lain selain kelima syarat ini adalah: Islam,
tamyiz, mengetahui tata cara berwudhu’ dengan tidak menyengaja satu fardhu
wudhu’ dengan kesunnahan, membasuh anggota yang tidak mungkin sempurna kecuali
dengan membasuh anggota tersebut, tidak adanya hal yang menafikan seperti haid
dan menyentuh kemaluan saat wudhu’ dan tidak memalingkan niat untuk selain
wudhu’ atau melanggengkan niat. I‘ānah Thālibīn,
Juz. 1 Hal. 39 Darul-Fikr. ↩
6.
24). Batasan salis (سَلِسٌ) yang dikehendaki oleh para ulama’ adalah
orang yang tidak melewati waktu yang cukup untuk bersuci dan shalat kecuali
tanpa hadats. Fatāwī Kubrā Libni Ḥajar juz 1
hal. 79 Maktabah Samilah. ↩
7.
25). Untuk shalat jama‘ taqdim yang disyaratkan harus muwālah atau sambung menyambung antara dua shalat
diperbolehkan untuk memisah dengan tayammum selagi tidak terlalu lama ketika
tayammum. Al-Maḥali Syarḥ Minhāj Juz 1
Hal. 360. ↩
8.
26). Kesimpulan kewajiban bagi seorang yang selalu berhadats
baik istiḥādhah ataupun selalu beser adalah membasuh
kelaminnya dari najis, menyumbatnya dengan semacam kapuk kecuali itu
menyakitkan atau sedang puasa, membalutnya dengan kain setelah disumbat jika
penyumbatan tersebut tidak cukup kuat menahan najis yang keluar, berwudhu’ atau
tayammum dan bergegas melakukan shalat. Hal itu dilakukan setiap akan melakukan
shalat fardhu walaupun pembalutnya tidak bergeser dari tempatnya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 47 Darul-Fikr. ↩
0 komentar:
Posting Komentar